Skip to content

LET'S DO SOME

READING

RISETalk #8: A-Z About Consent

Indonesia memiliki konstruksi budaya patriarki yang masih kuat. Masyarakat Indonesia menganggap laki-laki sebagai imam sehingga perempuan harus selalu mengikuti kemauan pasangan. Hal tersebut membuat perempuan sulit untuk mengatakan tidak atas apapun permintaan pasangannya.

Bagi perempuan di luar negeri, mengatakan “no” tidak sesulit di Indonesia karena perempuan di sana memiliki hak atas suara mereka sendiri. Oleh karena itu, perempuan di Indonesia harus bisa speak up dengan lebih keras. Dimulai dari usia remaja, perempuan harus aware dan berani melawan hal-hal toxic di dalam keluarga dan lingkungan.

Dalam konteks hubungan seksual, seseorang harus berusia minimal 18 tahun untuk dapat memberikan sexual consent. 18 tahun menjadi batas minimal karena seseorang dianggap telah dewasa dan dapat bertanggung jawab atas dirinya sendiri di usia tersebut. Apabila kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan hubungan seksual maka disebut sebagai hubungan konsensual. Dalam melakukan hubungan seksual yang konsensual, kedua belah pihak harus sama-sama mengerti, mau, senang, dan sadar saat melakukannya.

Selain sexual consent yang diberikan setiap sebelum berhubungan seksual, consent juga berlaku untuk aktivitas fisik lainnya seperti berpelukan, berciuman, dan cuddling. Consent juga diperlukan dalam penggunaan alat kontrasepsi ketika sebuah hubungan seksual telah rutin dilakukan. Perlu diketahui bahwa consent tidak berlaku dalam jangka panjang. Setelah sekali melakukan hubungan seksual bukan berarti seseorang otomatis mau melakukannya lagi. Consent dapat berubah-ubah tergantung dengan kondisi orang yang memberikannya. Consent bersifat sangat fleksibel bahkan bisa berubah di saat kegiatan seksual tengah dilakukan. Oleh karena itu, kita harus bisa mengkomunikasikan tentang batasan dari aktivitas yang kita ingin lakukan.

Namun, yang banyak terjadi selama ini adalah pihak perempuan dipaksa untuk berhubungan seksual. Mereka diajak dengan bujuk rayu, menggunakan alasan cinta untuk memanipulasi, atau diancam dengan rasa takut. Sayangnya, hal-hal tersebut kerap kali berhasil membuat para perempuan mau melakukan hubungan seksual, meskipun sebenarnya mereka tidak setuju.

Fenomena ini yang kemudian menjadi masalah. Setelah hubungan seksual pertama kali telah terjadi, biasanya akan berulang. Hal itu terjadi karena pihak laki-laki akan beranggapan bahwa perempuan sudah tidak perawan. Status keperawanan perempuan sering sekali disorot di berbagai hal, mulai dari obrolan sehari-hari sampai urusan melamar pekerjaan. Bagi masyarakat patriarkis, keperawanan perempuan merupakan sebuah hal yang suci dan menjadi tolak ukur perilaku. Sebuah selaput dara seakan-akan menjadi kontrol sosial terhadap perempuan.

Seperti halnya laki-laki, perempuan juga memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri. Pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual secara sadar adalah hak perempuan. Perempuan berhak untuk menolak hubungan seksual di luar pernikahan bukan semata untuk menjaga keperawanan. Perempuan juga berhak untuk melindungi dirinya dari penyakit seksual menular serta kehamilan yang tidak diinginkan.

Saat membicarakan tentang consent, sangat diperlukan ketegasan dari perempuan serta pasangan yang dapat menghargainya. Apabila anak perempuan selalu diajari tentang batasan, anak laki-laki seharusnya juga diajari untuk menghargai opini orang lain termasuk pasangan. Orang tua harus bisa memberikan sexual education kepada anak dan menjalin hubungan yang saling terbuka dengan anaknya.

Apabila orang tua kalian termasuk orang tua yang konservatif, just look around. Pasti ada orang dewasa di sekitarmu yang dapat memberikan edukasi dan informasi mengenai hal-hal seksual. Namun, pastikan orang tersebut profesional dan bertanggung jawab. Remaja juga bisa belajar dari platfrom-platform digital seperti Dokter GenZ, Tabu.id, atau RISE Foundation.

Pikirkan matang-matang dan pahami resikonya jika kalian ingin berhubungan seksual, jangan sampai kalian menyesali keputusan kalian dan merusak masa depan. Kita semua berhak atas otoritas tubuh kita sekecil apapun, jangan takut untuk berkata tidak. Don’t be afraid to stand up for your right.

Highlight

Article

Kick Off the 2nd Year of KOPAJA

On the first day of the activity, the agenda began with remarks from RISE Foundation representatives and the reading and signing of the cooperation contract. The main session discussed reflections on the implementation of the Urban Futures 2024 programme, with discussions on obstacles, lessons learned, and improvements that need to be made in 2025. One of the major changes is the adjustment of the cooperation model with CAI organisations, where in the future, KOPAJA will no longer refer to one particular organisation in involving inclusivity. This change aims to open up wider collaboration opportunities with various other inclusion organisations.

Read More »
Article

YOUTH NUTRITIATIVE II

RISE Foundation supported by the Global Alliance for Improved Nutrition (GAIN) Indonesia is committed to encouraging inclusive and meaningful youth participation in the fulfilment of the right to nutrition information and access to healthier, safer, affordable, responsible and less wasteful food for adolescents in Indonesia.
This commitment is realised through the Youth Nutritative (Nutrition Innovative) batch II initiative. Youth Nutritiative II is a continuation of the previous Youth Nutritiative programme which focused on issues such as healthier food choices, food labelling, food categorisation, and accessibility.

The programme is implemented from August to December 2024 by involving youth organisations from various backgrounds and issue focuses to collaborate in creating an ecosystem that supports the right to nutrition information, and access to healthy and sustainable food.

Read More »