Pada usia remaja tengah (15—19 tahun), anak muda mulai mengenal cinta dan pasangan lawan jenis. Mereka mulai tertarik untuk memiliki hubungan yang personal dengan orang lain. Sementara itu, pada usia remaja akhir (20—24 tahun), kehidupan anak muda dirasa semakin berat karena adanya tuntutan untuk memiliki hubungan yang serius. Tuntutan tersebut biasanya muncul dari keluarga yang menginginkan anak-anaknya untuk segera menikah ketika sudah menginjak usia 25 tahun ke atas dan peer pressure dari teman-teman yang sudah menikah terlebih dahulu. Relasi yang serius tersebut tentunya memberikan tanggung jawab yang lebih berat bagi orang-orang yang menjalaninya.
Banyak orang menginginkan hubungan yang langgeng. Namun, sebuah hubungan percintaan tidak dapat berjalan semulus yang kita harapkan. Tidak jarang di pertengahan proses berhubungan, muncul persoalan yang menyebabkan relasi tersebut berakhir atau putus. Persoalan-persoalan yang muncul tentunya beragam dan dapat memengaruhi kehidupan orang yang mengalaminya. Namun, pada umumnya relasi dengan mantan pasangan biasanya menjadi buruk ketika hubungan percintaan telah berakhir.
Penyebab putusnya sebuah hubungan bisa berupa komitmen yang dikhianati seperti perselingkuhan. Bahkan, beberapa dari kita mungkin pernah mengakhiri sebuah hubungan karena adanya relasi yang tidak sehat seperti kekerasan dan pelecehan. Namun, hubungan juga bisa berakhir karena persetujuan kedua belah pihak. Perpisahan tersebut biasanya terjadi ketika pasangan sudah tidak merasa cocok atau tidak memiliki tujuan yang sama lagi.
Ketika sebuah relasi gagal pada masa quarter life crisis, seseorang seolah dituntut untuk segera menjalin hubungan lagi. Padahal kita semua tahu bahwa sebuah hubungan tidak bisa dipaksakan. Hubungan yang dijalani pada usia pertengahan 20 tahun sering kali menghabiskan banyak waktu, energi, dan emosi. Hubungan yang dibangun dengan serius tersebut membuat relasi dengan mantan menjadi dalam sehingga kita sulit melupakan atau memaafkannya.
Usia tidak menentukan kedewasaan seseorang. Kedewasaan seseorang terbentuk dari pengalaman-pengalaman hidup yang telah mereka jalani. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, seseorang dapat menentukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Baik dengan memaafkan maupun menghindari pertemuan untuk sementara waktu agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan, seseorang bebas mempertimbangkan cara mana yang paling tepat dan sehat untuk mental mereka.
Pilihan untuk memaafkan atau tidak memaafkan mantan tidak dapat digeneralisasi kepada semua orang. Hal-hal yang dialami oleh seseorang ketika berhubungan dengan pasangannya pasti berbeda satu sama lain. Relasi yang sehat dan tidak sehat juga memengaruhi keputusan seseorang untuk memaafkan mantannya atau tidak. Pilihan memaafkan tidak dapat dipaksakan kepada setiap orang karena kita tidak pernah tahu sedalam apa luka yang mereka rasakan. Bisa jadi orang tersebut pernah diselingkuhi atau mengalami kekerasan dan pelecehan sehingga sulit untuk memaafkan mantannya. Apabila orang tersebut menjadi korban dari toxic relationship, prioritas mereka adalah mencari bantuan ke crisis center untuk menangani trauma, bukan memaafkan mantan.
Memaafkan orang lain merupakan sebuah pilihan untuk hidup dengan membawa beban rasa sakit hati atau hidup dengan ikhlas. Memaafkan juga dapat menjadi bagian dari proses pendewasaan. Beberapa orang memilih untuk memaafkan tetapi tidak melupakan. Tidak melupakan rasa sakit ketika berhubungan dengan mantan dapat menjadi pengalaman bagi diri sendiri. Semakin banyak seseorang merasakan sakit dalam sebuah hubungan, semakin banyak pelajaran dan hikmah yang bisa diambil. Pelajaran-pelajaran tersebut pada akhirnya dapat menguatkan mereka ketika menghadapi situasi-situasi yang sama. Selain itu, pengalaman pahit tersebut juga bisa menjadi cerita untuk pasangan yang baru sehingga kita bisa berekspektasi agar tidak diperlakukan seperti itu lagi. Namun, terus mengingat rasa sakit yang disertai dengan pemikiran negatif akan berubah menjadi hal buruk dan dendam.
Rasa sakit merupakan hal yang wajar untuk dirasakan apabila kita menjadi pihak yang ditinggalkan. Namun, kita tidak perlu menceritakan alasan versi kita mengenai berakhirnya hubungan tersebut kepada orang lain. Selain itu, kita tidak usah repot-repot membalas dendam kepada mantan. Ketika seseorang mengkhianati komitmen, dia sudah tidak pantas untuk kita sehingga kita harus memberikan energi positif untuk diri sendiri. Fokuskan pola pikir kita untuk memperbaiki diri sendiri, bukan kepada orang lain dan persoalan yang menyebabkan hubungan berakhir. Ketika kita fokus memperbaiki diri, bukan tidak mungkin kita bisa menjalin relasi dengan orang yang lebih baik.
Satu hal yang perlu diingat apabila belum bisa memaafkan mantan adalah kita harus bisa memaafkan diri sendiri. Berdamai dengan diri sendiri tentunya membutuhkan waktu. Kita harus ikhlas dan menikmati perjalanan penyembuhan diri tersebut. Jangan terburu-buru untuk move on agar tidak melampiaskan kekecewaan, rasa sedih, atau amarah kita kepada orang lain. Diri kita berharga tanpa harus bergantung dengan orang lain.
Di sisi lain, kita juga bisa menjadi pihak yang bersalah dan seharusnya meminta maaf. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah menyadari kesalahan kita. Kemudian, kita harus bertanggung jawab atas perbuatan kita dan berkomitmen untuk tidak mengulanginya lagi. Meminta maaf dapat dilakukan kapan saja, tetapi momen lebaran dapat digunakan sebagai waktu yang tepat apabila kita sulit mengungkapkan perasaan bersalah kita. Tidak melulu meminta maaf sebagai mantan, tetapi kita dapat meminta maaf dan memaafkan satu sama lain as a human being. Permintaan maaf tersebut tidak harus disampaikan secara verbal. Berbagai cara lain yang membuat kita nyaman dapat dilakukan sebagai cara untuk meminta maaf, misalnya melalui pesan singkat.
Everything happens for a reason. Ketika kita sudah menyadari bahwa akhir hubungan ini adalah jalan Tuhan, tidak ada hal lain yang harus dilakukan selain berdamai dengan keadaan dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.