Penulis : Celine Anastasya
Editor : Jennifer Dinata
Hallo Sobat Remaja!
Membahas soal spill the tea rasanya telah dianggap sebagai hal yang umum yang ditemukan pada masa sekarang. Fenomena ini terutama banyak terjadi di dunia maya, tepatnya pada platform-platform media sosial. Pada RISETalk yang ke-33, RISE Foundation berkesempatan untuk membicarakan topik menarik ini bersama Kak Ana Widiawati, yang merupakan seorang content writer di Hipwee!
Istilah ini mungkin memang terdengar ramai beberapa tahun belakangan ini. Akan tetapi, kata spill the tea sendiri ternyata telah ada cukup lama, yakni sekitar tahun 1994.
Terminologi tersebut secara harfiah berarti menumpahkan teh. Namun kata tea di dalamnya disebut merujuk pada kata truth. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa spill the tea memiliki arti membagikan cerita atau kebenaran.
Meskipun saat ini, kata spill the tea seringkali diasosiasikan dengan bergosip. Kak Ana yang menganggap bahwa hal tersebut merasa kuranglah tepat. Spill the tea tidak sesimpel itu, bahkan lebih dari sekadar bergosip. Sebab, terdapat dorongan atau motif tertentu yang dimiliki seseorang dari melakukan spill the tea.
Hal ini sendiri bisa bermacam-macam, dan seringkali para warganet yang berperan sebagai penonton hanya bisa menebak-nebak. Beberapa melakukannya untuk alasan menaikkan engagement media sosial dan memancing keviralan. Atau mungkin, memang ada pesan atau kejadian penting yang ingin disampaikan untuk diketahui orang banyak.
Ya, untuk poin terakhir rasanya kita telah cukup sering menemukannya saat ini. Platform media sosial, misalnya seperti Twitter, banyak menjadi tempat orang membagikan suatu kasus kejadian. Kasusnya pun bisa menjadi beragam. Mulai dari kasus hukum, kekerasan seksual, dan fenomena-fenomena sosial lainnya.
Kondisi yang sayangnya cukup menyedihkan pun adalah backlash yang didapat orang-orang yang melakukan spill the tea dari warganet. Fenomena ini beberapa kali Kak Ana saksikan selama pengalamannya menjadi relawan di Lembaga Penanganan Kekerasan Seksual (KS). Dan dengan kondisi Indonesia yang relatif belum terlalu ramah pada korban KS, hal ini seolah menjadi seperti ‘serangan kedua’ bagi para korban yang mencoba mengungkapkan.
Dari fenomena ini, maka spill the tea di media sosial sudah seharusnya dilakukan dengan berhati – hati. Bahkan dari sudut pandang psikolog, beberapa mengungkapkan hal ini sebaiknya dijadikan sebagai pilihan terakhir.
Banyaknya resiko menjadi alasan terkuat mengapa hal ini perlu dipertimbangkan. Mulai dari begitu cepatnya arus informasi di dalam media sosial, spotlight atau perhatian yang akan mengikuti, hingga beragamnya pendapat warganet. Tiga hal tersebut adalah sesuatu yang hampir tidak bisa kita kendalikan. Dan terlebih lagi, lebih banyak orang yang tidak dikenal daripada yang kita kenal di media sosial.
Tetapi jika kamu tetap merasa spill the tea sebagai jalan yang tepat, maka pastikan bahwa kamu setidaknya memiliki resource yang mendukung. Usahakan bahwa kamu dapat didampingi oleh pihak-pihak yang mendukung pada kasusmu, misalnya seperti orang yang paham mengenai hal hukum, psikologis, atau media itu sendiri.
Media sosial mungkin menjadi hal yang dipandang sepele. Hanya sebuah ruang maya; tidak nyata. Tetapi kita harus mengakui, hal yang terjadi di media sosial memiliki efek atau dampak yang teramat nyata!
Mari kita menggunakan ruang tersebut dengan bijak. Dan jika kita berada di bangku penonton dalam fenomena spill the tea, jadilah pihak yang responsif. Hindari bersikap reaktif, dan pastikan kita sedang dalam kondisi in-control saat memberikan respon terhadap situasi.
Sebab kenyataannya, kita kurang lebih memiliki resiko yang sama dengan pelaku spill tadi. Kita bisa jadi terkena doxxing, perundungan, hingga pencemaran nama baik ketika respon yang kita berikan tidak bisa diterima dengan baik.
Jadi sekali lagi mari menggunakan ruang maya kita secara bijak! Media sosial hanya sebuah objek; kitalah yang menjadi subjeknya. Kita dapat mencoba berhenti sejenak untuk menilai diri. Dan jika penggunaan media tersebut disadari telah berlebihan, tidak ada salahnya untuk mengambil tindakan pembatasan.