Penulis: Zaky Roihul
Editor: Celline
Sextortion menurut bahasa adalah pemerasan seksual, sedangkan menurut istilah yaitu tindakan-tindakan eksploitasi seksual yang digunakan oleh seseorang (pelaku) dengan cara memanfaatkan relasi atau otoritas yang dimiliki untuk memaksakan tindakan, gambar, atau video seksual dari korban. Umumnya, pelaku memanfaatkan konten yang dimiliki untuk memeras atau mengancam korban agar memenuhi keinginan dari pelaku seperti uang, menjalin hubungan lebih dalam, dan tindakan-tindakan lainnya tanpa persetujuan korban. Kasus sextortion lekat dengan kondisi di mana pelaku merasa memiliki otoritas dan kontrol terhadap korban. Pelaku merasa senang untuk merendahkan dan menjatuhkan korban sehingga juga dapat dikatakan sebagai bentuk pencemaran nama baik.
Sextortion terjadi ketika konten seperti gambar, foto, video, dan sebagainya yang bersifat privasi dari seseorang juga dimiliki oleh orang lain. Ketika konten tersebut sudah tersebar tanpa sepengetahuan dan seizin pemilik serta bersifat merugikan, maka hal tersebut sudah menjadi sextortion. Hal ini biasanya terjadi dari orang-orang terdekat yang pada awalnya diberi kepercayaan untuk menyimpan atau memiliki konten-konten yang bersifat privasi dari pemilik.
Sextortion merupakan sesuatu yang patut diwaspadai sebab pelaku tidak hanya berasal dari orang terdekat, namun juga orang yang bahkan tidak dikenal. Berdasarkan hasil riset dan kasus sextortion yang pernah terjadi, pelaku bisa jadi hanya mengetahui atau mengenal korban di dunia maya. Dengan kecanggihan teknologi saat ini, pelaku juga mampu memanipulasi konten seksual yang dialamatkan kepada korban dengan aplikasi pengubah wajah (deepfake), melakukan peretasan akun media sosial atau penyimpanan pribadi, dan sebagainya.
Jika terdapat seseorang yang mengalami kasus sextortion ini, beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menanggapinya antara lain:
- Menunjukkan empati kepada korban.
- Menyarankan korban untuk mengumpulkan bukti terjadinya sextortion, misalnya dengan mengumpulkan screen capture dari media sosial tempat penyebaran konten privasi seperti WhatsApp, Twitter, Facebook, Instagram, dan lain sebagainya.
- Memanfaatkan community guidelines dari platform media sosial.
- Menghimbau korban untuk tidak menuruti kemauan pelaku.
- Manajemen risiko untuk selalu waspada terhadap apa yang dibagikan.
- Melaporkan kejadian dan mencari bantuan hukum seperti melapor ke polisi, Kominfo, KPAI, Komnas Perempuan, atau LBH seperti LBH APIK.