Kasus kekerasan seksual di Indonesia sepanjang bulan Januari—Oktober 2021 telah mencapai lebih dari 4.500 aduan kepada Komnas Perempuan, baik kekerasan seksual yang terjadi secara langsung maupun online. Banyaknya kasus tersebut diperparah dengan sistem penanganan yang belum maksimal dari luring menjadi daring akibat pandemi. Selama tahun 2016—2021, terdapat sekitar 140 kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh pihak Rifka Annisa WCC. Bentuk kekerasan seksual yang paling umum berupa pelecehan seksual. Bahkan, terdapat satu contoh kasus nyata di mana pada saat berada di ruang kelas, ada korban yang dicium secara langsung oleh dosennya.
Pemicu terjadinya kasus kekerasan seksual bukanlah keadaan lingkungan yang sepi, kondisi malam hari, dan pakaian yang dikenakan korban, tetapi adanya niat dari pelaku. Faktor pertama penyebab maraknya kasus kekerasan adalah relasi kuasa yang timpang, di mana hubungan kuasa pelaku lebih tinggi dari korban. Misalnya hubungan rektor dan dosen, dosen dan mahasiswa, atau kakak tingkat dan adik tingkat. Oleh karena itu, seringkali kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tidak diselesaikan dengan alasan untuk melindungi nama baik kampus. Faktor kedua yaitu adanya sistem patriarki yang menganut paham bahwa perempuan memiliki kedudukan di bawah laki-laki. Masalah ketimpangan gender tersebut menyebabkan perempuan harus menurut kepada laki-laki.
Selain itu, masih banyak orang yang belum memahami konsep consent juga menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual. Apabila dipahami lebih jauh consent adalah persetujuan yang sebenarnya sering diterapkan di kehidupan sehari-hari. Tidak hanya dalam hal-hal seksual, kita juga harus meminta consent orang lain ketika ingin mendokumentasikan sesuatu, meminjam barang, sampai mengatakan suatu hal. Consent harus diberikan secara sadar dan dipertanggungjawabkan oleh kedua belah pihak dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pemberian consent bukan serta merta sebagai alasan terjadinya hubungan seksual secara benar. Kedua pihak harus memahami risiko yang mengikuti apabila melakukan hubungan seksual. Consent juga tidak boleh diminta dengan manipulasi seperti bujuk rayu dan iming-iming.
Tidak mudah bagi korban untuk berani bercerita mengenai pelecehan dan kekerasan seksual yang dialaminya. Mereka biasanya meminta pihak keluarga atau teman untuk menceritakan kasusnya. Korban membutuhkan waktu bahkan sampai kejadian sudah cukup lama berlalu untuk bisa bercerita kepada teman terdekat, keluarga, atau komunitas pendukung penyintas. Untuk melakukan speak up, kita harus memahami cara yang aman yaitu berhati hati dalam memilih tempat untuk bercerita agar tidak ada yang memanfaatkan situasi. Apabila tidak memiliki teman atau anggota keluarga yang dekat, kita bisa mencari referensi lembaga penanganan kekerasan seksual melalui Google.
Kekerasan seksual yang tidak tertangani dan tidak diungkapkan dapat berdampak pada kesehatan fisik dan mental korban. Pelaku dapat menularkan infeksi menular seksual kepada korban. Secara psikologis, korban merasa di dalam dirinya ada sesuatu yang sudah direnggut paksa. Korban juga dapat mengalami trauma, stres, depresi, merasa tidak sanggup untuk terbuka atau speak up, hingga melakukan self-harm dan bunuh diri. Pada kasus pemerkosaan mahasiswa UNRI oleh dekan, korban dilaporkan menggunakan UU ITE dengan alasan pencemaran nama baik. Kasus ini memberikan dampak psikologis yang buruk kepada korban.
Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) dan UU PKS seharusnya didukung sebagai pedoman penanganan kasus kekerasan seksual agar hak-hak korban dapat dilindungi dan kasus pelecehan seksual dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, darurat kasus kekerasan seksual tidak menghentikan terjadinya kontra terhadap peraturan-peraturan tersebut. Masih banyak orang yang belum memahami konsep consent dan beranggapan bahwa peraturan ini melegalkan seks bebas, mendukung LGBT, hingga meliberalisasi kampus.
Kekerasan seksual terjadi karena adanya pelaku. Jangan pernah menyalahkan korban dan keadaan ketika terjadi kekerasan seksual. Dukung terus implementasi Permendikbud 30 dan pengesahan UU PKS sebagai jaminan hak-hak korban kekerasan seksual.