Di era pandemi COVID-19, berbagai kegiatan tidak bisa dilakukan secara offline atau tatap muka. Kebijakan seperti social distancing dan aturan protokol kesehatan cukup menghambat pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut. Untuk mengatasinya, aktivitas banyak dilakukan secara online menggunakan media sosial. Tidak hanya untuk menyebarkan informasi maupun menjalin komunikasi, media sosial juga digunakan untuk melakukan kegiatan aktivisme.
Aktivisme online terdiri dari tiga tugas utama yaitu advokasi, mobilisasi, dan reaksi. Contoh dari kegiatan aktivisme online yaitu pemberian edukasi lewat unggahan Instagram, penyebaran brosur awareness melalui Facebook, atau penyebaran tagar dukungan melalui Twitter. Aktivisme online dapat memberikan dampak positif seperti penyebaran informasi secara cepat dan tepat tanpa harus mengadakan kegiatan secara langsung, menjalin komunikasi dengan institusi atau lembaga lain, serta menghemat biaya dan pengeluaran. Kegiatan aktivisme online juga memungkinkan terjadinya pertukaran opini secara langsung antara aktivis atau influencer dan audiens.
Hal tersebut cenderung jarang terjadi ketika aktivisme dilakukan secara offline. Di ruang-ruang keseharian, jarang ada segmen di mana setiap orang bisa memberikan opini mereka. Meskipun ada, belum tentu orang-orang memiliki kesempatan sehingga harus ada event tertentu untuk menyuarakan pendapat. Acara tertentu yang mengumpulkan banyak orang tersebut membuat aktivisme offline lebih terasa full of vibes. Namun, tentunya ada budget yang harus dianggarkan dan administrasi yang harus diurus. Sementara itu, aktivisme online memiliki banyak media gratis yang bisa digunakan misalnya unggahan media sosial, siaran langsung, dan podcast. Meskipun kegiatan aktivisme offline dan online hanya berbeda media, aktivisme online lebih accessible untuk semua orang.
Sayangnya, aktivisme online juga bisa memberikan dampak negatif berupa berkurangnya rasa peduli setiap individu karena tidak terjun secara langsung di dunia nyata dan melakukan suatu kegiatan hanya karena sedang trending tanpa mengetahui esensinya. Contoh kasusnya yaitu penggunaan tagar di Twitter yang biasanya merepresentasikan suatu masalah atau kampanye terhadap suatu gerakan. Masalahnya, masyarakat terkadang tidak mempelajari apa dan bagaimana permasalahan di balik tagar tersebut sehingga mereka menggunakan tagar hanya untuk mengikuti tren. Hal itu bisa menyebabkan berkurangnya rasa kepedulian terhadap masalah yang benar-benar terjadi.
Untuk itu, perlu edukasi mengenai pentingnya persiapan yang matang untuk terjun ke dalam kegiatan aktivisme online. Tidak hanya perencanaan gerakan yang baik, tetapi juga edukasi mengenai cara reach out kepada orang-orang berpengaruh. Aktivisme tidak bisa dilakukan secara individu, melainkan harus bersama-sama dan membutuhkan dukungan dari decision maker seperti pemerintah. Banyak konflik yang dihadapi ketika aktivis mencoba speak up, mulai dari dianggap salah oleh orang lain, pembelokan isu, hingga diberi label social justice warrior. Namun, sebuah kegiatan yang bertujuan baik pasti akan meningkatkan kesadaran publik. Ketika banyak orang sudah aware, mereka akan mengulik isu-isu yang diminati lebih dalam lagi.