Penulis: Tiara Shafira Azzahra
Data Tahunan Komnas Perempuan telah menunjukkan peningkatan yang signifikan pada kasus kekerasan seksual secara online di era pandemi COVID-19. Tercatat telah terjadi peningkatan laporan dari 241 menjadi 940 kasus sepanjang tahun 2020—2021. Namun, angka tersebut belum dapat dikatakan mereprentasikan kekerasan yang terjadi karena banyak korban yang tidak melaporkan kasus yang dialaminya. Banyak dari mereka takut mendapatkan stigma dan penghakiman ketika memberanikan diri untuk speak up tentang kejadian yang dialami, bahkan kepada orang terdekat. Selain itu, alasan yang membuat para korban kekerasan seksual ini takut untuk speak up adalah pelaku merupakan orang terdekat sehingga korban masih berempati, korban belum sembuh secara fisik dan psikis sehingga belum menerima kembali dirinya sendiri, takut mendapatkan ancaman, adanya victim blaming, takut dijauhi oleh orang-orang terdekat, serta takut menerima sanksi yang dapat memengaruhi masa depan seperti dikeluarkan dari kampus.
Di sosial media, perempuan lebih sering menjadi korban cyber bullying mulai dari body shaming hingga komentar berbau seksual. Hal tersebut membuat mereka tidak nyaman untuk berekspresi di sosial media. Selain dua hal tersebut, kita harus paham apa saja jenis-jenis perilaku yang dapat diklasifikasikan ke dalam kekerasan seksual di media sosial. Beberapa jenisnya yaitu:
- Penyebaran konten intim nonkonsensual untuk menjatuhkan kredibilitas dan nama baik perempuan. Konten tersebut biasanya dibuat ketika berpacaran kemudian disebarkan ketika pasangan sudah berpisah.
- Mengedit foto (deep fake).
- Stalking dan pengancaman baik oleh orang yang sudah dikenal maupun belum.
- Penyebaran informasi pribadi seperti nomor telepon dengan embel-embel informasi palsu seperti open BO.
- Doxing atau penyebaran identitas dan pengalaman pribadi untuk menyerang orang tersebut.
Pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk mendokumentasikan kegiatan intimnya, termasuk hak untuk mengirimkannya kepada orang lain. Misalnya, seorang perempuan ingin memberikan konten berbau seksual kepada pasangannya, hal itu tidak menjadi masalah selama ada consent dari kedua belah pihak. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika konten tersebut diminta dengan paksaan atau manipulasi, kemudian jatuh ke tangan yang tidak tepat.
Kekerasan seksual pun tidak memandang siapa kita dan bagaimana penampilan kita. Memakai pakaian tertutup tidak menjadi jaminan orang tersebut akan terbebas dari kekerasan seksual, baik secara online maupun offline. Oleh karena itu, pemikiran seperti “bajunya terbuka sih, pantas saja jadi korban” jelas tidak bisa dibenarkan. Daripada memberikan komentar negatif, lebih baik kita membantu korban menghadapi kasusnya. Lalu, bagaimana cara yang tepat dalam mendampingi korban kekerasan seksual?
- Bertanya “apa yang kalian butuhkan?”.
- Mendukung korban untuk bercerita ke psikolog ketika sudah siap.
- Memberikan ucapan-ucapan dukungan yang sederhana seperti “semangat ya!”.
- Tidak langsung menuntut korban untuk speak up.
- Memahami bahwa proses penyembuhan dan penerimaan diri korban memerlukan waktu yang lama.
- Apabila korban tidak mau melapor, keluarga dan orang terdekat dapat membantu proses pelaporan.
- Tidak ikut menyebarkan konten-konten intim nonkonsensual milik korban (#stopdikamu).
- Tidak perlu memberikan komentar yang negatif dan menyudutkan di postingan sosial media orang yang sedang speak up.
Namun, bagaimana jika kita sendiri yang mengalami kekerasan seksual? Kita dapat melakukan hal-hal di bawah ini.
- Tenang dan tahu apa yang harus dilakukan.
- Menceritakan kejadian kekerasan seksual kepada orang yang dapat dipercaya.
- Mengumpulkan bukti-bukti terjadinya kekerasan seksual.
- Hubungi layanan bantuan seperti Kementerian PPPA, Komnas Perempuan, aplikasi Lapor Kasus, akun Awas KGBO, atau LBH Apik Jakarta.
- Apabila memerlukan bantuan untuk pendampingan psikis, bisa menghubungi psikolog di Yayasan Pulih.
- Apabila konten-konten seksual terlanjur tersebar, kita bisa meminta pihak media sosial untuk men-take down akun yang menyebarkan atau menghubungi Kominfo.
Masih banyak orang yang menganggap bahwa kasus kekerasan seksual hanyalah dilebih-lebihkan. Hal itu menyebabkan terjadinya darurat kasus kekerasan seksual. Inilah mengapa kita harus mendorong pengesahan RUU-PKS karena selain sangat dibutuhkan oleh para korban, UU tersebut juga dapat melindungi kita dari ancaman kekerasan seksual.
Seringkali pelaku kekerasan seksual berdalih bahwa perbuatannya hanya sebatas candaan. Oleh karena itu, edukasi harus diberikan ke masyarakat untuk dapat menghindari terjadinya kekerasan seksual, seperti:
- Mengetahui batasan dalam candaan dan sentuhan fisik. Batasan setiap orang berbeda-beda, sehingga ketika kita ingin menyentuh orang lain kita harus menanyakan kesediaannya terlebih dahulu.
- Memahami bahwa privasi di dunia maya tidak pernah benar-benar menjadi privasi karena dapat dilihat oleh pihak ketiga (pemilik platform) dan menjadi konsumsi publik. Apabila kita ingin membagikan sesuatu, kita harus memahami bahwa konten tersebut dapat dilihat oleh orang banyak. Mengingat beberapa kasus bocornya unggahan close friend, kita juga tidak bisa 100% percaya dengan teman di dunia maya.
Banyak orang yang menganggap bahwa dunia maya berbeda dengan dunia nyata. Hal tersebut membuat mereka merasa bebas berperilaku di sosial media. Padahal, dunia maya juga memiliki suatu ekosistem kehidupan yang dapat menjerumuskan dunia nyata mereka. Ruang digital adalah bagian dari kehidupan realitas. Selalu ingat bahwa unggahan kita dapat dinikmati oleh publik.
Yuk, mulai dari diri sendiri untuk menghentikan pelaku dan melindungi korban kekerasan seksual. Tidak ada cara bagi seseorang untuk bebas dari kemungkinan menjadi korban kekerasan seksual, namun setiap orang bisa memilih untuk tidak menjadi pelaku kekerasan seksual.