Penulis: A. Kinanti
Editor: Celine Anastasya
Tercatat sekitar 1,8 miliar anak muda berusia 15–24 tahun, dan ini menjadikannya sebagai kelompok populasi terbesar dalam sejarah (World Bank, 2017). Di Indonesia, jumlah penduduk usia produktif yang termasuk golongan anak muda mencapai lebih dari 63 juta jiwa atau 26% dari total populasi. Dengan bonus demografi di kawasan Asia Tenggara yang akan terjadi pada tahun 2020–2030, jumlah populasi anak muda akan mencapai 70% dari total penduduk (BPS, 2015).
Besarnya jumlah anak muda berusia produktif ini tentu menjadi tantangan sekaligus investasi bagi pembangunan.
Meaningful Youth Participation (MYP), atau partisipasi anak muda yang bermakna, merupakan prinsip di mana anak muda dapat berpartisipasi di semua tahap pengambilan keputusan dalam organisasi dan program-program yang dilaksanakan. The U.S. National Commission on Resources for Youth mendefinisikan partisipasi anak muda sebagai pelibatan anak muda untuk melakukan suatu tindakan yang bertanggung jawab, baik dalam merencanakan dan/atau membuat keputusan yang berpengaruh terhadap diri mereka sendiri maupun orang lain.
Prinsip ini kemudian menekankan bagaimana bahwa anak muda memiliki kedudukan yang setara dengan orang dewasa. Dengan begitu, anak muda tidak lagi dilihat hanya sebagai objek atau penerima manfaat, melainkan juga sebagai subjek dalam pembangunan. Mulai dari tahap identifikasi masalah, pengembangan program dan kebijakan, implementasi, hingga evaluasi dari kegiatan yang dilaksanakan, anak muda adanya dilibatkan secara aktif.
Namun jika melihat situasi saat ini, masih banyak kebijakan, strategi, dan program yang dirancang oleh pemerintah tetapi belum mengakomodasi keterlibatan anak muda yang bermakna. Padahal kenyataannya, tidak sedikit dari kebijakan dan program tersebut dibuat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi anak muda. Tanpa keterlibatan anak muda dalam proses perencanaan, efektivitas pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program ini dapat terhambat karena belum tentu memenuhi kebutuhan mereka.
Adapun implementasi prinsip pelibatan anak muda yang bermakna ini umumnya terhambat karena faktor-faktor berikut.
- Belum ada kesadaran mengenai pentingnya partisipasi anak muda yang bermakna, baik dari pemerintah sebagai orang dewasa dan anak muda itu sendiri.
- Adanya stigma dan konstruksi masyarakat bahwa anak muda tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk bekerja sama dengan orang dewasa. Stigma tersebut lalu berimbas pada mental anak muda yang menjadi kurang percaya diri dan takut melakukan kesalahan.
- Belum adanya kebijakan yang khusus mengatur tentang partisipasi anak muda dalam pembuatan kebijakan maupun pengambilan keputusan.
Dalam agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030, keterlibatan pemuda dianggap sebagai kunci percepatan pembangunan. SDGs 2030 menitikberatkan peran anak muda secara inklusif dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia hal ini diatur dalam UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, di mana pada aturan tersebut disebutkan pemerintah wajib berkolaborasi dengan anak muda dalam pelaksanaan kegiatan kepemudaan demi meningkatkan partisipasi aktif dan potensi pemuda. United Nations Youth Strategy 2030 juga mengungkapkan signifikansi keterlibatan pemuda ini dengan prioritas utama menyuarakan kepentingan mereka demi dunia yang damai, adil, dan berkelanjutan.
Kondisi ideal dalam menerapkan partisipasi anak muda yang bermakna adalah melalui kerja sama dan kolaborasi dalam menjalankan program. Roger Hart dalam buku Children’s Participation from Tokenism to Citizenship (1992) pun pernah membuat sebuah model partisipasi ini. Hart’s Ladder of Youth Participation dibuat untuk melihat sejauh apa partisipasi anak muda dalam suatu organisasi dan program tertentu, serta bagaimana bentuk kolaborasi antara anak muda dan orang dewasa. Delapan tingkatan partisipasi dalam model tersebut yaitu:
- Inisiatif orang muda dan diputuskan bersama dengan orang dewasa (youth initiated, shared decision-making)
Kegiatan diinisiasi dan dijalankan oleh anak muda, baik dari perencanaan sampai pelaksanaan. Setelah itu, kegiatan dikonsultasikan kepada orang dewasa sebagai pemberi saran apabila dibutuhkan.
- Inisiatif anak muda tetapi diarahkan oleh orang dewasa (youth initiated and directed)
Kegiatan diinisiasi oleh anak muda dan orang dewasa membantu mengarahkan kegiatan.
- Inisiatif orang dewasa tetapi diputuskan bersama anak muda (adult-initiated, shared decisions with young people)
Kegiatan atau program dibuat oleh orang dewasa, namun proses pengambilan keputusan dilakukan bersama anak muda.
- Dikonsultasi dan memahami (consulted and informed)
Kegiatan dijalankan oleh orang dewasa dengan tetap memperhatikan pendapat dari anak muda, dan pendapat tersebut diterapkan dalam kegiatan tersebut.
- Ditugaskan tetapi memahami (assigned but informed)
Anak muda memahami tujuan dari kegiatan yang dibuat oleh orang dewasa, siapa yang akan melakukan pengambilan keputusan dan mengapa, serta memutuskan sendiri keikutsertaan dalam kegiatan tersebut.
- Tokenisme (tokenism)
Anak muda memberikan pendapat, tetapi kenyataannya sedikit atau bahkan tidak ada kesempatan atau pilihan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
- Dekorasi (decoration)
Anak muda dilibatkan hanya sebagai pemanis dan semacam ‘tim hore’ untuk kepentingan orang dewasa, meskipun kegiatan nyatanya ditujukan untuk anak muda.
- Manipulasi (manipulation)
Anak muda tidak memahami isu yang diangkat dan apa tujuan dari kegiatan yang mereka lakukan. Misalnya, anak muda diminta untuk memegang poster dan menyebarkan flyer terhadap isu tertentu namun tidak mengetahui makna aksi tersebut dan mengapa mereka melakukannya.
Dalam beberapa teori yang lebih modern, tiga tahapan terakhir (tokenisme, dekorasi, dan manipulasi) tidak termasuk dalam jenis partisipasi anak muda. Akan tetapi, ketiga bentuk interaksi tersebut masih sering terjadi dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Oleh karena itu, prinsip intervensi program untuk anak muda tidak kalah penting untuk diperhatikan.
Sebuah program hendaknya diimplementasikan berdasarkan usia dan tren yang sedang berkembang, menggunakan metode peer to peer atau teman sebaya, serta mengedepankan Youth-Adult Partnership (YAP) atau kemitraan anak muda dan orang dewasa yang setara.
Memang tidak dipungkiri bahwa tidak semua anak muda memiliki kapasitas dan pengalaman yang memadai untuk menjalankan program atau kegiatan seperti halnya orang dewasa. Namun, hal itulah yang membuat peningkatan kapasitas dan asistensi dari orang dewasa menjadi diperlukan. Dalam kondisi ini, orang dewasa berperan sebagai pihak yang memiliki lebih banyak pengetahuan serta pengalaman dalam menjalankan program.
Bentuk-bentuk peningkatan kapasitas yang dapat diberikan kepada anak muda atau organisasi kepemudaan meliputi manajemen organisasi, pelaporan keuangan, etika kemitraan dalam program, kepemimpinan, advokasi, kepercayaan diri, dan soft skills lainnya. Selain memberikan kegiatan peningkatan kapasitas, orang dewasa – dalam hal ini yakni pemerintah – juga perlu mengajak anak muda untuk berpartisipasi dalam pengembangan kebijakan terkait kepemudaan, mulai dari perencanaan hingga evaluasi yang disahkan melalui undang-undang.
Anak muda Indonesia memiliki keterampilan dan pengetahuan yang mumpuni untuk dilibatkan dalam pembangunan. Sayangnya, kesempatan untuk berkolaborasi dengan orang dewasa masih sulit didapatkan. Maka pada kondisi ini, orang dewasa harus berkomitmen untuk mewujudkan ruang aman dan ramah bagi anak muda sehingga mereka berani melibatkan diri.
Menurut Sobat Remaja, kegiatan apa saja nih yang dapat dilakukan oleh anak muda untuk meningkatkan kesadaran publik dan pemerintah terhadap partisipasi pemuda yang bermakna?
Referensi:
Hart, Roger. 1992. Children’s Participation from Tokenism to Citizenship. Florence: UNICEF Innocenti Research Centre. Meaningful Youth Participation