Penulis: Tamaya Feby Erica
Editor: Celine Anastasya
Hi, Sobat Remaja! Apakah kamu pernah mendengar istilah premarital sex?
Premarital sex, atau disebut juga seks pranikah, merupakan suatu kegiatan seksual melibatkan laki-laki dan perempuan yang dilakukan sebelum adanya ikatan pernikahan. Fenomena premarital sex di Indonesia masih sangat dianggap tabu oleh masyarakat. Sebab, premarital sex dinilai menyalahi norma-norma yang berlaku pada masyarakat.
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengedukasi remaja Indonesia agar mengetahui apa saja konsekuensi yang akan dihadapi apabila melakukan seks pranikah. Dan dua di antaranya ialah kehamilan tidak direncanakan serta tertularnya penyakit menular seksual.
Beberapa faktor yang mempengaruhi remaja melakukan hal tersebut menurut Aryani (2010) adalah karena dorongan biologis, pemberian fasilitas (termasuk uang) pada remaja secara berlebihan, pergeseran nilai moral dan etika, serta kemiskinan.
Di sisi lain, Soetjiningsih (2006) menyebutkan hubungan orangtua-remaja yang buruk, tekanan negatif teman sebaya, pemahaman tingkat agama (religiusitas), dan paparan media pornografi sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku seks pranikah ini.
Adapun dari sudut pandang agama maupun budaya, seks pranikah dianggap menyimpang secara sosial, tidak sehat, tidak bermoral, ilegal, dan juga berbahaya (Bennett, 2005; Bennett, 2007; Holzner & Oetomo, 2004).
Hal ini juga yang kemudian membuat perempuan yang melakukan premarital sex biasanya direndahkan dengan stigma dan istilah seperti ‘patah’, ‘rusak’, dan ‘murah’. Hingga akhirnya, perempuan menjadi pihak yang cenderung mendapat lebih banyak efek negatif. Mulai dari kehamilan tak terencana, shaming dari keluarga dan masyarakat, sampai tindakan dinikahkan dan/atau aborsi yang mungkin dipaksakan.
Standar ganda antara seksualitas laki-laki dan perempuan pun bisa dikatakan tidak terlalu membantu kondisi ini. Jika melihat pada data yang ada, tingkat aktivitas seksual yang dilakukan laki-laki adanya lebih tinggi dibanding perempuan. Hal ini juga cukup sejalan dengan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002 dan 2012 yang menemukan adanya kenaikan tingkat seks pranikah pada remaja laki-laki Indonesia berumur 15-24 tahun (BPS et al. 2013).
Dengan sistem patriarki yang masih cukup kental di tengah masyarakat kita, laki-laki yang menyombongkan seksualitasnya pun sudah bukan berita baru lagi. Sementara di lain pihak, perempuan menjadi pihak yang cenderung atau bahkan diharapkan untuk ‘bersembunyi’.
Beberapa penelitian bahkan menyorot fenomena perempuan yang melakukan aktivitas seksual karena merasa berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pasangan. Hal ini lalu mendorong mereka untuk melakukan aktivitas seksual untuk menghindari tersakitinya perasaan pasangan. Dengan dasar agar pasangan tetap tertarik, menghindari konflik, dan anggapan seks dapat meningkatkan keintiman.
Hal ini juga lebih jauh diteliti pada penelitian yang dilakukan oleh Kristianti et al. (2018). Dari 1.444 responden perempuan, 30,75% mengaku pernah melakukan setidaknya satu aktivitas seksual yang tidak diinginkan karena merasa tertekan. Adapun dari kelompok ini, sekitar 22% melaporkan pernah menerima tekanan dalam bentuk kekerasan fisik, ancaman verbal, hingga sengaja dibuat mabuk oleh pasangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rasanya tidak dapat dipungkiri bahwa premarital sex memiliki dampak tersendiri. Secara fisik, kehamilan dan penyakit menular seksual dapat terjadi. Dan dari sekian macam penyakit menular seksual, kasus yang banyak terjadi adalah HIV AIDS.
Selain dampak fisik, premarital sex juga dapat berdampak pada psikis. Salah satunya adalah terjadinya penyesalan yang berlebihan, yang kemudian bisa berlanjut pada turunnya rasa kepercayaan diri.
Setiap hal yang kita lakukan pasti memiliki konsekuensi yang harus diterima, dan begitu juga dengan kasus premarital sex ini. Rasa malu keluarga dan penghakiman dari masyarakat pun kemungkinan akan mengiringi, mengingat premarital sex adalah sesuatu yang dianggap melanggar norma.
Kesiapan secara fisik maupun mental sudah pasti dibutuhkan. Dan pada akhirnya, kita perlu berani mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan.
Referensi:
Aryani, R. (2010). Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya.Salemba Medika: Jakarta
Bennett, L. R. (2005). Women, Islam and modernity: Single women, sexuality and reproductive health in contemporary Indonesia. Oxon: Routledge Curzon.
Bennett, L. R. (2007). Zina and the enigma of sex education for Indonesian Muslim youth. Sex Education, 7(4): 371-386.
BPS, BKKBN, Kementerian Kesehatan, ICF International. (2013). Indonesia Demographic and Health Survey 2012. Jakarta: BPS, BKKBN, Kemenkes, and ICF International.
Holzner, B. M., Oetomo, D. (2004). Youth, sexuality and sex education messages in Indonesia: Issues of desire and control. Reproductive Health Matters, 12(23): 40-49.
Kristanti, I., Poerwandari, E. K. (2018). Premarital Sexual Compliance among Urban Indonesian Women: A Descriptive Study. Psychological Research on Urban Society, 1(1): 26-37.
Soetjiningsih, dkk. (2006). Buku Ajar Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: Sagung Seto.