Penulis: Shila Dwi Ramadhani; Editor: Shopa Marwati
Halo, Sobat Remaja!
Apa kalian pernah mendengar tentang istilah cancel culture? Cancel culture sering kali berkaitan dengan selebritas atau seseorang yang melakukan hal kontroversial dan skandal. Tetapi, sebenarnya apa itu cancel culture?
Menurut Teixeira da Silva (2021), istilah cancel culture merujuk pada tindakan pengucilan yang bermaksud “membatalkan” seseorang sebagai tanggapan atas peristiwa sosial negatif atau skandal yang disebabkan oleh orang tersebut.
Cancel culture dapat dilihat sebagai bentuk sanksi sosial yang bertujuan memboikot dan merendahkan sasaran sehingga mereka merasa malu dan bersalah, serta cenderung mengabaikan sisi positif apapun sedemikian rupa, sehingga akhirnya sasaran tersebut kehilangan kredibilitas dan “dibatalkan” dari segala jenis perannya di masyarakat.
Sasaran cancel culture biasanya adalah orang yang memiliki pengaruh besar, seperti: politisi, selebriti, dan influencer. Namun, orang-orang biasa juga dapat menjadi sasaran. Selain individu, cancel culture juga dapat menyasar organisasi dan barang-barang komersial, seperti perusahaan, film, dan buku.
Cancel culture juga biasanya dilakukan secara kolektif dan atas dasar keputusan bersama, untuk menyatakan bahwa seseorang layak dikucilkan karena melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan suatu norma yang ada.
Media cancel culture yang paling sering digunakan adalah media sosial. Seiring berjalannya waktu, peran media sosial menjadi semakin besar dalam membuat manusia bertindak secara kolektif.
Dilansir dari psikogenesis.com, secara psikologis, cancel culture dapat dijelaskan melalui sebuah teori yaitu teori “Two Step Flow Theory”. Teori ini menjelaskan bagaimana menyebarkan informasi melalui media sosial dapat mengubah informasi tersebut menjadi sebuah aksi yang nyata.
Konektivitas tak terbatas dari dunia digital juga sangat mendukung terbentuknya cancel culture. Berbagai organisasi sosial pun membuat semacam model komunikasi digital dengan sebutan hashtag activism. Bentuk aktivisme berbasis internet ini memastikan batas geografi dapat dilampaui dan dapat dijangkau lebih banyak individu yang dapat mendukung dan melakukan aksi sosial, termasuk cancel culture.
Cancel culture juga dapat termanifestasi dalam berbagai macam bentuk, seperti:
- mempermalukan dan menolak opini sasaran secara publik,
- serangan langsung di dunia nyata maupun melalui serangan siber,
- pemboikotan dengan tidak memberikan panggung bagi sasaran, serta
- dorongan terhadap sasaran untuk mundur, pensiun, hingga melakukan pemecatan.
Menurut Van Dijk (2013), gerakan ini biasanya dimulai dari mengidentifikasi sasaran, seperti tempat tinggal dan tempat kerja, lalu menekan tempat kerja tersebut untuk menghukum si sasaran.
Beberapa contoh kasus cancel culture di yang dialami oleh publik figur diantaranya adalah kasus Kim Seon Ho, Gofar Hilman, dan Johnny Depp. Ketiganya menderita kerugian materil dan immateril akibat dari cancel culture yang dilayangkan oleh netizen. Padahal setelah melewati berbagai pemeriksaan polisi, tuduhan yang ditujukan kepada mereka sama sekali tak terbukti.
Beralih dari hal tersebut, cancel culture juga memiliki faktor penyebabnya. Menurut Matei (2019) dan Ditum (2014) dalam Bouvier (2020), cancel culture menjadi alat baru untuk menegakkan keadilan sosial. Di lain sisi, hal ini juga dapat dilihat sebagai sebuah “pertunjukan “ dan panggung bagi orang-orang untuk pamer kebaikan moralnya.
Henderson (2019) menjelaskan bahwa ada orang-orang yang mendapatkan kepuasan dari memobilisasi massa dan menciptakan rasa kebersamaan dari membela sisi yang sama. Namun, gerakan ini masih diperdebatkan perihal apakah sanksi sosial yang diharapkan sebanding dengan beratnya kejahatan yang dilakukan dalam isu yang dibahas.
Tentunya, terdapat dampak dari perilaku cancel culture tersebut. Dilansir dari alodokter.co, fenomena cancel culture seharusnya bisa menjadi sarana untuk membuat korban memahami kesalahannya, memperbaiki kesalahan tersebut, dan mengambil langkah yang tepat agar ia tidak mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.
Namun, bukannya membuat sang korban menjadi paham akan kesalahannya, fenomena cancel culture yang kerap terjadi akhir-akhir ini malah berubah menjadi perilaku intimidasi atau bullying. Hal ini tentu bisa membuat korban merasa terkucilkan, terisolasi, bahkan kesepian. Tidak menutup kemungkinan, korban pun akan mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan bunuh diri.
Cancel culture juga tidak selalu berhasil membuat korbannya sadar akan kesalahannya, apalagi jika pelaku dan korbannya tidak memiliki hubungan yang dekat. Terkadang, praktik cancel culture seperti itu justru hanya akan membuat si korban merasa lebih tertantang untuk mempertahankan ego dan reputasinya.
Bila demikian, hal tersebut justru dapat menyebabkan si pelaku cancel culture semakin merasakan emosi negatif, seperti kesal, marah bahkan frustasi. Selain itu, fenomena cancel culture disebut juga bisa menurunkan tingkat empati pelakunya. Pasalnya, saat melakukan praktik cancel culture, pelaku akan cenderung menolak untuk mendengarkan atau memahami posisi korban.
Pada intinya cancel culture datang dari keinginan untuk menuntut sebuah pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang melanggar hukum dan norma. Niatan baik ini didukung oleh perkembangan teknologi dan sukses menjadi gerakan yang menyatukan seluruh orang di dunia untuk bersuara terhadap ketidakadilan.
Sayangnya, tidak semua orang berpartisipasi dengan tujuan baik dan gerakan ini pun rawan disalahgunakan untuk membuat keributan dan merugikan orang-orang tak bersalah. Oleh karena itu, marilah kita menyuarakan pendapat dengan bijak dan tidak lupa memeriksa fakta terlebih dahulu. Biasakan untuk berpikir dua kali sebelum mengunggah konten dan komentar di media sosial karena jejak digital tidak akan hilang.
Daftar Pustaka:
Bouvier, G. (2020).Racist call-outs and cancel culture on Twitter.The limitations of the platform’ stability to define issues of social justice.Discourse, Context & Media, Vol.38, September 2020, 200431
Mitrofan,F. (2020).Canceling the callouts: The ‘ Dramageddon ‘ of 2019 and the effects of cancel culture online (Master Thesis), diakses dari https://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:1544315/FULLTEX01.pdf
Mueller, T.S. (2021).Blame, then shame? psychological Predictors in cancel culture Behavior.The social science Journal, Vol.23 No. 22, DOI:10.1080/03623319.2021.1949552
Teixeira da Silva, J. A. (2021). How to shape academic freedom in the digital age? Are the reactions of opinionated papers a prelude to “ cancel culture “in academia? Current Research in Behavioral Sciences, 2 (March), 100035
Van Dijck, J.2013.The culture of Connectivity: A Critical History of Social Media. Oxford University Press, Oxford.
https://www.aldokter.com/memahami-apa-itu-cancel-culture-dan-dampaknya-bagi-kesehatan-mental
https://www.city-journal.org/cancel-culture
https://helloentgroup.com/2020/01/06/kim-seon-han-shows-signs-of-trauma-after-being-cancelled/
https://www.psikogenesis.com/2021/10/cancel-culture-real-power-of-social.html