Penulis: Nadia
Editor: Jennifer
Materi : Divisi Penelitian dan Pengembangan RISE Foundation
Halo, Sobat Remaja!
Pada kesempatan kali ini, RISE akan membahas tentang memahami ekspresi emosi remaja. Sebelumnya kalian sudah mengetahui belum apa itu emosi? Bagaimana sih cara kita memahami dan mengekspresikan emosi dengan baik?
Banyak yang menilai bahwa bentuk ekspresi emosi terlihat dari wajah saja, namun sebenarnya masalah emosi juga dilihat dari tingkah laku dan perubahan terhadap para remaja. Sehubungan dengan zaman yang dialami oleh para remaja saat ini, adanya perubahan secara emosional dan personalitas harus dipahami dan ditangani agar para remaja mampu menempuh masa transisi menuju kedewasaan. Nah sebelum mengetahui cara kita mengekspresikan emosi, ada baiknya memahami pengertian emosi.
Dalam sebuah artikel, menurut Fitri & Adelya (2017), emosi dapat dipahami sebagai perasaan atau reaksi terhadap suatu kejadian atas apa yang dirasakan. Emosi ditampilkan dalam bentuk yang bermacam-macam dari setiap individu. Seringkali emosi diluapkan dalam bentuk perasaan yang kuat atau lemah dalam waktu yang singkat. Sedangkan perkembangan emosi berkaitan erat dengan bertambahnya umur seseorang.
Menurut Hurlock dalam Azmi (2015), secara psikologis, masa remaja adalah usia ketika individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Masa remaja adalah masa ketika anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Sedangkan Menurut Heller dan Casey (2016), masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa ini adalah ketika seseorang mengalami perubahan signifikan pada hampir segala aspek kehidupan, termasuk fungsi biologis, kognitif, sosial, serta hubungan dengan keluarga maupun teman sepantaran.
Dalam mengekspresikan emosi, penting untuk belajar mengatur emosi mana yang harus diungkapkan dan kapan harus mengungkapkannya serta mengkomunikasikan kebutuhan kepada orang lain dan sebaliknya. Seseorang yang cenderung menekan atau menahan ekspresi emosi tertentu dapat mengurangi kesejahteraan dalam menjalani kehidupannya, hal tersebut dapat dihubungkan dengan timbulnya kesedihan, ketakutan, maupun stress.
Berbicara tentang ekspresi emosi remaja, ternyata ada beberapa faktor yang mempengaruhi kematangan ekspresi emosi remaja tersebut. Menurut Azmi (2015) dan Fitri & Adelya (2017), ada lima faktor yang memengaruhi kematangan emosi remaja, yaitu:
- Perubahan Jasmani
Ketidakseimbangan tubuh sering mempunyai akibat yang tidak terduga pada perkembangan emosi remaja.
2. Perubahan Interaksi dengan Orang Tua
Pola asuh orang tua terhadap anak, termasuk remaja, sangat bervariasi. Perbedaan pola asuh orang tua yang seperti ini dapat berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan emosi remaja. Cara memberikan hukuman misalnya, jika dulu anak dipukul karena nakal, saat ini cara semacam itu justru dapat menimbulkan ketegangan yang lebih berat antara remaja dengan orang tuanya. Pemberontakan terhadap orang tua menunjukkan bahwa mereka berada dalam konflik dan ingin melepaskan diri dari pengawasan orang tua.
3. Perubahan Interaksi dengan Teman Sebaya
Remaja seringkali membangun interaksi sesama teman sebayanya secara khas dengan cara berkumpul untuk melakukan aktivitas bersama. Mereka bisa membentuk semacam geng atau mengubah perilaku terhadap lawan jenis.
4. Perubahan Pandangan Dunia Luar
Adanya sejumlah perubahan pandangan dunia luar yang dapat menyebabkan konflik-konflik emosional dalam diri remaja, yaitu sikap dunia luar terhadap remaja yang tidak konsisten. Kadang-kadang mereka dianggap sudah dewasa, tetapi mereka tidak mendapatkan kebebasan penuh atau peran yang wajar sebagaimana orang dewasa. Sering kali mereka masih dianggap anak kecil sehingga berakibat timbulnya kejengkelan pada diri remaja. Kejengkelan yang mendalam dapat berubah menjadi tingkah laku emosional. Seringkali kekosongan remaja dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab yaitu dengan cara melibatkan remaja tersebut ke dalam kegiatan kegiatan yang merusak dirinya dan melanggar nilai-nilai moral.
5. Perubahan Interaksi dengan Sekolah
Ada anak-anak yang lebih percaya, lebih patuh, bahkan lebih takut kepada guru ketimbang kepada orang tuanya. Posisi grup semacam ini sangat strategis bila digunakan untuk pengembangan emosi anak melalui penyampaian nilai-nilai luhur, positif, dan konstruktif di sekolah. Para remaja sering kali terbentur pada nilai-nilai yang tidak dapat mereka terima atau yang sama sekali bertentangan dengan nilai-nilai yang menarik bagi mereka. Pada saat itulah timbul idealisme untuk mengubah lingkungannya.
Beberapa penelitian menurut Dahlan dalam Azmi (2015), ada pengaruh emosi terhadap perilaku individu, diantaranya adalah:
- Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang dicapai.
- Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi).
- Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi dan biasa juga menimbulkan sikap gugup (nervous).
- Terganggunya penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.
- Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.
Dengan kata lain, semakin baik kondisi emosi seseorang, maka semakin baik pula perilaku yang dimunculkan oleh individu tersebut. Perlunya ekspresi emosi juga dapat meningkatkan perkembangan individu dan perilaku, baik melalui ide-ide yang disampaikan maupun saat berinteraksi dengan orang lain.
Lalu, bagaimana sih cara remaja mengekspresikan emosinya? Menurut Chaplin & Aldao (2013), ekspresi emosi pada remaja dapat dibedakan berdasarkan gender. Penelitian mengungkapkan bahwa anak perempuan menunjukkan ekspresi emosi positif yang lebih besar daripada anak laki-laki. Perbedaan gender ini menjadi semakin jelas seiring dengan bertambahnya usia. Anak perempuan mengekspresikan lebih banyak emosi secara “internal”, seperti kesedihan, ketakutan, simpati, dan rasa malu. Sementara itu, anak laki-laki menunjukkan ekspresi emosi secara “eksternal” lebih besar, terutama ekspresi kemarahan. Namun pada masa remaja, anak perempuan lebih banyak mengekspresikan emosi secara “eksternal” daripada laki-laki.
Dalam sebuah artikel oleh Fitri & Adelya (2017), upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kematangan emosi remaja diantaranya dengan melatih diri remaja agar bersikap terbuka kepada orang-orang terdekat sehingga remaja memiliki tempat bercerita atas berbagai permasalahan dan kesulitan yang dialami. Selain itu, remaja dapat dilatih dalam mengembangkan fisiknya, bermain dan melakukan pekerjaan, serta tertawa atau menangis sehingga emosi dapat disalurkan dengan baik. Konselor atau guru BK juga berperan dalam membentuk emosi remaja yang matang dengan memberikan layanan informasi agar siswa mampu menetapkan keputusan dan bertingkah laku sesuai dengan pertimbangan.
Referensi:
Azmi. 2015. Potensi Emosi Remaja dan Pengekspresiannya. Pontianak: Sosial Horizon.
Bailen, dkk. 2019. Understanding Emotion in Adolescents: A Review of Emotional Frequency, Intensity, Instability, and Clarity. St. Louis: Emotion Review Vol. 11, No. 1.
Chaplin dan Aldao. 2013. Gender Differences in Emotion Expression in Children: A Meta-Analytic Review. NIH Public Access.
Fitri dan Adelya. 2017. Kematangan Emosi Remaja dalam Pengentasan Masalah. Jurnal Penelitian Guru Indonesia.
Gross dan Cassidy. 2019. Expressive Suppression of Negative Emotions in Children and Adolescents: Theory, Data, and a Guide for Future Research. Maryland: ResearchGate.