Skip to content

LET'S DO SOME

READING

IWD 2022: #BreakTheBias on Women’s Sexuality

Writer: Celine Anastasya

Editor: Jennifer Dinata

Hallo Sobat Remaja! 

Seiring perkembangan zaman, manusia tentu juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Beberapa hal mengalami perubahan, dan beberapa lainnya cenderung melekat sampai saat ini. Stigma terhadap perempuan bisa dikatakan menjadi salah satu contoh hal yang masih terpaku pada sebagian masyarakat Indonesia hingga dunia, entah disebabkan oleh pengaruh lingkungan atau semacam ‘turunan’ dari generasi terdahulunya.

Stigma dan pandangan bias ini banyak berakar dari gender yang mengkonstruksi bagaimana menjadi ‘perempuan yang seharusnya dan selayaknya’. Menjadi perempuan yang seharusnya hanya mengenal dapur dan kasur, selalu mengangguk nurut, atau tidak mengecap pendidikan tinggi-tinggi karena selayaknya tidak penting dan perlu. Pandangan kaku ini melabeli perempuan sebagai manusia yang lemah lembut dan anggun, sehingga sudah sewajarnya untuk laki-laki mengambil peran yang superior dan kuat. Padahal di balik hal tersebut, perempuan memiliki potensi dan kemampuan yang sama-sama bisa diberdayakan. 

Bias seksualitas atau perilaku membeda-bedakan sesuatu berdasarkan jenis kelamin, juga masih sangat nyata terjadi saat ini. Standar ganda (double standard) pun tak jarang dapat kita temukan, seperti bagaimana laki-laki yang memiliki track record tinggi dalam berhubungan seksual cenderung dianggap keren dan berstatus sosial tinggi, sedangkan jika dalam kasus yang sama perempuan akan mendapat cibiran dan cap murahan.

Penerapan standar ganda ini tentu saja tidak adil, sebab dalam kasus normal dua pihak yang melakukan hubungan seksual seharusnya sama-sama bertanggung jawab atas perbuatannya. Bersamaan dengan itu juga, pendidikan seksual (sex education) menjadi faktor penting yang tidak dapat dilupakan. Mengenal tubuh adalah salah satu bagian pengenalan diri kita sendiri, sehingga pengetahuan bagaimana organ reproduksi bekerja hingga seminimal menjaga kebersihannya seharusnya menjadi hal-hal yang perlu kita ketahui.

Hal ini pun sebenarnya tidak hanya berlaku bagi anak remaja, tetapi juga semua orang termasuk para orang tua. Sebelum menanamkan pendidikan seksual pada anak, orang tua perlu memiliki wawasan yang benar untuk dibagikan. Hal ini dikarenakan tidak jarang juga orang tua memiliki kesalahan persepsi hingga berdampak bagi anak, misalnya seperti mengamuk karena berprasangka buruk saat anak cepat mengalami menstruasi pertama. 

Meskipun sering dianggap tabu, pendidikan seksual sebenarnya bisa diberikan sejak kanak-kanak. Tentu saja pemberian harus disesuaikan dengan usia, misalnya dengan memberikan penjelasan yang bertahap dan tidak terlalu abstrak. Istilah-istilah seperti penis dan vagina juga tidak perlu ditutup-tutupi dan diperhalus menjadi ‘Mr. P’ atau ‘Miss V’. Pengetahuan seksual yang jelas akan lebih membantu anak-anak dalam memahami secara mandiri kesehatan organ reproduksinya hingga bertumbuh dewasa nanti. 

Kenyataan bahwa perempuan rentan mendapat perlakuan kekerasan seksual juga membuat pendidikan seksual ini cukup berguna. Misalnya, pengetahuan tentang kontrasepsi dapat membantu orang yang terkena musibah pemerkosaan dan ingin mencegah kehamilan. Dengan pendidikan seksual, kita menjadi tahu kapan memerlukan pil kontrasepsi darurat, KB spiral, atau IUD tembaga. 

Tentu saja dalam prosesnya laki-laki juga perlu berkompromi, karena hal mencegah kehamilan bukan hanya beban tanggung jawab milik perempuan saja. Toh semenjak awal, berhubungan seksual adalah persoalan yang melibatkan dua pihak.

Karena dilakukan secara bersama juga, laki-laki dan perempuan perlu membentuk komunikasi yang jelas. Jangan sampai paham semacam ‘jika kamu mencintai aku, maka kamu harus rela memberikan segalanya untukku’ masih ada dan melekat di lingkungan kita, karena kenyamanan dan batasan tiap orang pasti berbeda-beda dan tidak bisa disamaratakan. Topik-topik ini sampai hal mendasar seperti tujuan dari berhubungan sudah sebaiknya bisa didiskusikan antar sesama pasangan.

Apabila kurang percaya diri dalam mengekspresikannya, kita bisa mencoba berlatih terlebih dahulu di depan kaca. Cobalah untuk membawa topik dengan situasi yang seru dan santai. Meskipun ada kemungkinan ditolak karena keinginan itu misalnya membuat pasangan tidak nyaman, setidaknya kita sudah berani jujur. Setidaknya dengan berkomunikasi, kita bisa meraba dan menemukan titik tengah dari kehendak masing-masing. 

Didikan saat masa kecil mungkin membuat kita memandang hal menyangkut seksualitas sebagai hal yang menakutkan. Menghindari sesuatu yang ditakuti memang nyaman, tapi di saat yang sama membuat kita terjebak dalam ketidaktahuan. Oleh karena itu, jangan ragu untuk memperbanyak pengetahuan mengenai hal-hal dalam berhubungan, seperti penggunaan kondom hingga vaksinasi HPV untuk mencegah kanker serviks. Apalagi kontrasepsi selama ini masih lebih sering diingat untuk tujuan mencegah kehamilannya saja, bukan dari segi mencegah infeksi penyakit menular seksual (PMS).

Mari secara aktif mengedukasi diri dan berkomunikasi. Mari patahkan bias-bias yang ada, sehingga stigma masyarakat tidak lagi menjadi penghalang bagi perempuan untuk mencapai keinginan. Dan tentu saja, gapai harapan itu dengan dukungan komitmen dan rencana yang konkrit.